Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Hery Susanto, mengingatkan bahwa pengabaian standar pelayanan publik mendorong perilaku maladministrasi yang cenderung koruptif. Di samping juga berpotensi menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat.
Ia menambahkan, masyarakat berhak mendapatkan akses atas layanan yang berkualitas. Sehingga penyelenggara pelayanan publik berkewajiban mematuhi standar-standar pelayanan yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
“Dalam jangka panjang, pengabaian standar pelayanan publik berpotensi menurunkan kredibilitas peran pemerintah sebagai fasilitator, regulator, hingga katalisator bagi pembangunan pelayanan publik,” jelas Hery saat membuka workshop penilaian kepatuhan penyelenggaraan pelayanan publik yang berlangsung secara hybrid pada Kamis (13/6/2024).
Kegiatan tersebut merupakan pra pelaksanaan penilaian kepatuhan penyelenggara pelayanan publik yang segera dilakukan Ombudsman tahun ini.
Hery menegaskan fokus utama penilaian ORI tahun ini sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.
“Satu pokok pikiran dalam peraturan tersebut menempatkan kepatuhan terhadap standar pelayanan publik sebagai target capaian RPJMN,” paparnya melalui daring.
Penjabat sementara (Pjs) Kepala Perwakilan ORI Kaltim, Hadi Rahman, mengemukakan kepada penyelenggaraan pelayanan publik agar wajib memiliki visi jangka panjang. Kemudian memiliki kerangka berpikir dan pola tindak yang mengikuti panduan pengorganisasian dan penggerakan seluruh sumber daya.
“Tidak boleh ada disorientasi. Oleh karena itu, penyelenggara perlu memastikan terselenggaranya pelayanan berkualitas prima. Inilah yang patut menjadi tujuan,” imbuhnya.
Penilaian kepatuhan yang dilakukan Ombudsman RI memiliki relevansi yang sangat strategis terhadap visi dan tujuan pelayanan publik tersebut. Kegiatan ini nantinya akan menjabarkan seberapa tingkat kepatuhan dan kualitas pelayanan yang diselenggarakan Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah.
“Hasilnya berupa rekomendasi untuk perbaikan dan peningkatan kualitas, serta pencegahan maladministrasi melalui implementasi komponen standar pelayanan pada tiap unit pelayanan publik,” terang Hadi.
Penyelenggara Pelayanan Publik Belum Mampu Bedakan Antara SP Dengan SOP
Sementara itu, Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi ORI Kaltim, Dwi Farisa Putra Wibowo, menyampaikan tantangan penyelenggara pelayanan publik dalam proses penilaian.
Merujuk pada hasil evaluasi kegiatan yang sama tahun lalu, rata-rata penyelenggara kurang dalam memberikan jaminan pelayanan. Serta memastikan ketersediaan standar pelayanan.
Termasuk mengenai adanya ketentuan bagi penyelenggara memberikan kompensasi kepada masyarakat yang tidak mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya.
“Sebelumnya ditemui beberapa petugas penyelenggara tidak memahami perbedaan antara standar pelayanan (SP) dengan standar operasional prosedur (SOP). Padahal SP adalah panduan untuk masyarakat, sedangkan SOP adalah panduan untuk internal instansi,” urainya.
Sebagai informasi, workshop penilaian kepatuhan digelar secara luring di Hotel Aston, Samarinda. Kegiatan ini dihadiri 63 peserta dari Biro/Bagian Organisasi dan Tata Laksana Pemerintah Daerah, badan pertanahan serta instansi kepolisian se Kaltim.
Sementara 157 peserta lainnya hadir melalui daring. Sebagaian besar akan menjadi lokus penilaian yakni, Dinas Sosial, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Kesehatan serta Puskesmas.